Sunday, April 15, 2018

Dendam Belanda di Prambon Wetan

Iring-iringan Tank Sherman milik Sekutu.
 Perang kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sepanjang tahun 1945-1949 diisi oleh berbagai drama hingga tragedi kemanusiaan. Salah satunya adalah sebuah tragedi pembantaian yang terjadi pada tanggal 24 Juli 1949 di sebuah desa bernama Prambon Wetan yang terletak di Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur.

Pada hari tersebut ratusan marinir Belanda ( Mariniersbrigade / Marbrig ) mengepung dan menyerbu desa Prambon Wetan dari berbagai arah kemudian melakukan sebuah aksi pembalasan dengan menembak dan membunuh sekitar lebih dari 60 orang penduduk desa tersebut, Kemudian membakar tidak kurang dari 50 rumah.
Peristiwa pembantaian ini terjadi sehari setelah insiden penyergapan yang dilakukan oleh TNI dan pejuang kemerdekaan terhadap sebuah regu patroli marinir Belanda bersenjata ringan yang beranggotakan 10 orang marinir ditambah dengan seorang mata-mata Tionghoa pro Belanda yang sedang melakukan misi pengintaian di desa tersebut pada tanggal 23 Juli 1949. Akibat dari penyergapan ini. Empat orang marinir Belanda beserta dengan seorang mata-mata Tionghoa pro Belanda yang ikut dengan mereka tewas termasuk sang komandan regu patroli Belanda tersebut yaitu Letnan Leen Teeken dan warga desa Prambon Wetan kemudian menahan sekitar enam orang marinir lainnya yang berhasil selamat ( salah satu marinir meninggal karena malaria ) selama dua bulan sebelum pada akhirnya dikembalikan ke pihak Belanda melalui upaya negosiasi berupa pertukaran tahanan. Hal ini kemudian membuat pihak Belanda menjadi murka dan memerintahkan untuk melakukan aksi pembalasan demi menemukan orang-orang yang bertanggung jawab atas peristiwa penyergapan tersebut. Hingga saat ini tidak pernah diketahui dengan jelas atas perintah siapa aksi balas dendam tersebut, juga tidak diketahui siapa komandan lapangan yang memerintahkan aksi pembalasan ini.

Sebelumnya pada tanggal 22 Juli 1949. Letnan Leen Teeken mengambil alih pimpinan pos komando Belanda di Rengel, Jawa Timur. Sehari kemudian mendadak dia memberangkatkan sebuah patroli dikawasan yang cukup “bermasalah” ini semata-mata hanya untuk menunjukkan “siapa yang berkuasa” dan mencari para pejuang gerilya khususnya TNI yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Menurut salah seorang penyintas / veteran marinir Belanda yaitu Ben Ruerling yang saat itu juga ikut dalam Patroli Teeken mengatakan bahwa sebetulnya kegiatan patroli tersebut tidak tercatat dalam agenda / jadwal resmi militer Belanda pada saat itu.
Sebelum kejadian pembantaian ini, pasukan darat ( Landmacht ) membombardir Prambon Wetan dengan mortir yang menewaskan beberapa orang penduduk. Dibulan Juni sebulan sebelumnya, kepala desa Prambon Wetan yaitu Suratmi terbunuh ketika berusaha menyerang patroli Belanda dengan granat tangan, Suratmi terbunuh ketika dia ditembak oleh salah seorang tentara Belanda yang sedang berjaga, mendengar hal tersebut penduduk Prambon Wetan menjadi murka karena kepala desa mereka dibunuh. Kemudian warga desa beserta dengan anggota TNI yang diperbantukan di desa tersebut membuat sebuah rencana untuk melakukan sebuah penyergapan terhadap patroli yang dipimpin Teeken.
Daftar Nama Korban Prambon Wetan.
 Ruerling juga menyebut bahwa insiden itu adalah kesalahan besar dari Teeken yang berangkat hanya dengan 10 marinir bersenjata ringan ditemani dengan seorang mata-mata Tionghoa pro Belanda. Ruerling ingat betul bahwa keadaan didesa tersebut sangat sunyi dan tenang hingga beberapa saat kemudian patroli mereka mendadak dihujani peluru oleh TNI dan gerilyawan. Dalam pertempuran sengit ini, Teeken dan tiga anggota marinir lainnya beserta seorang mata-mata Tionghoa pro Belanda ( mayat dari mata-mata tersebut kemudian dicincang oleh beberapa warga desa ) yang ikut mendampingi para marinir tersebut langsung tewas di tempat akibat tembakan gencar yang dilancarkan oleh para gerilyawan dan TNI dari berbagai arah.
Kemudian mayat mereka berlima dibuang ke sungai yang tidak jauh dari desa tersebut, dalam kesempatan lainnya seorang mantan supir ambulans Belanda Dies Bom ( 87 ) mengatakan bahwa beberapa hari setelah insiden itu, dia diperintahkan untuk mengevakuasi jenazah para marinir yang terbunuh, jasad mereka dibuang kesungai. “baunya sangat tidak tertahankan” katanya, saat itu dia mengevakuasi tanpa sarung tangan atau alat pelindung lainnya.
Sebuah Monumen didirikan bertahun-tahun kemudian setelah peristiwa pilu tersebut untuk mengenang perjuangan dan para korban yang gugur semasa pertempuran dan pembantaian pada tahun 1949 didesa Prambon Wetan.

No comments:

Post a Comment

KATEGORI